Press "Enter" to skip to content

TAFSIR SURAT YASIN (AYAT 15 – 27)

0

Lanjutan Terjemah TAFSIR SURAT YASIN (AYAT 13 – 14) karya Syekh Hamami Zada, semoga derajat beliau bersama leluhur dan keturunanya ditinggikan oleh Alloh SWT. Aamiin

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Bismillâĥirrohmânirrohîm

اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ

Allôĥumma Sholli Âlâ Sayyidinâ Muhammad, Allôĥumma Sholli Âlâyĥi wa Sallim

SURAT YASIN

AYAT 15 – 27

قَالُوْا مَآ أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُنَا وَمَآ أَنْزَلَ الرَّحْمٰنُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَكْذِبُوْنَ.

Qôlû Mâ An(g)tum Illâ Basyarun(m) Mitslunâ Wamâ An(g)zalar Rohmânu min(g) Syay`in in An(g)tum Illâ Takdzibûn[a].

(15) Mereka menjawab, “Kalian tidak lain hanyalah manusia seperti kami, dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatu pun, kalian tidak lain hanyalah pendusta belaka.”

Orang-orang Anthokiyyah menyatakan bahwa ketiga utusan itu hanyalah manusia seperti halnya mereka, tidak ada sedikit pun perbedaan yang mengharuskan mereka mempercayai ketiga utusan itu.

قَالُوْا رَبُّنَا يَعْلَمُ إِنَّآ إِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُوْنَ. وَمَا عَلَيْنَآ إِلَّا اْلبَلٰغُ اْلمُبِيْنُ.

Qôlû Robbunâ Ya’lamu Innâ Ilaykum Lamursalûn[a]. Wamâ ‘Alaynâ Illal Balâghul Mubîn[u].

(16) Mereka berkata, “Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus kepada kamu. (17) Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas.”

Ketiga utusan itu berkata, “Kewajiban kami hanyalah menyampaikan risalah. Allah mengutus kami kepada kalian untuk mengajak kalian dari kebatilan menuju kebenaran, dan kewajiban kalian adalah membenarkan apa yang kami katakan, segera beriman kepada Allah dan percaya akan risalah yang kami bawa.”

قَالُوْآ إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ لَئِنْ لَّمْ تَنْتَهُوْا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِّنَّا عَذَابٌ أَلِيْمٌ.

Qôlû Innâ Tathoyyarnâ Bikum Lain(l) Lam Tan(g)taĥû Lanarjumannakum Walayamassannakum Minnâ ‘Adzâbun Alîm[un].

(18) Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kalian, sesungguhnya jika kalian tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kalian dan kalian pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.”

Disebutkan bahwa mereka (kaum Anthokiyyah) dilanda kekeringan yang lama, berbagai macam bentuk penyakit menjalar di sana-sini. Mereka berkata, “Berbagai bencana yang menimpa kami ini adalah karena kedatangan kalian (para utusan) yang membawa sial. Berbagai bencana ini tidak pernah terjadi sebelumnya, kecuali setelah kedatangan kalian ke negeri kami.”

Lalu mereka berkata lagi kepada para utusan itu, “Jika kalian tidak menghentikan dakwah kalian, maka kami akan melempari kalian dengan batu hingga kalian merasakan kepedihan yang menyiksa.”

قَالُوْا طٰـۤئِرُكُمْ مَّعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُوْنَ.

Qôlû Thô-irukum Ma’akum A-in(g) Dzukkirtum Bal An(g)tum Qouwmun(m) Musrifûn[a].

(19) Utusan-utusan berkata, “Kemalangan kalian itu adalah karena kalian sendiri. Apakah jika kalian diberi peringatan (kalian mengancam kami)? Sebenarnya kalian adalah kaum yang melampaui batas.”

Bencana yang menimpa kaum Anthokiyyah adalah bencana yang diturunkan karena kekufuran dan pembangkangan mereka atas risalah yang dibawa oleh para utusan. Apakah jika mereka diberi peringatan oleh Allah, kemudian mereka bernasib malang, maka haruslah kemalangan itu ditimpakan kepada para utusan? Atau apakah kemalangan itu akan menghilang jika mereka menimpakan siksa kepada para utusan itu? Yang pasti mereka  itu adalah orang-orang yang menyekutukan Allah SWT dan berbuat dzalim kepada para utusan dengan membunuhnya. Dan sampailah berita ini kepada Habib al-Najjar.

وَجَآءَ مِنْ أَقْصَا اْلمَدِيْنَةِ رَجُلٌ يَّسْعٰى قَالَ يٰقَوْمِ اتَّبِعُوا اْلمُرْسَلِيْنَ. اتَّبِعُوْا مَنْ لَّا يَسْئَلُكُمْ أَجْرًا وَّهُمْ مُهْتَدُوْنَ.

Wajâ-a min Aqshol Madînati Rojulun(y) Yas’â Qôla Yâqouwmit Tabi’ul Mursalîn[a]. Ittabi’û Man(l) Lâ Yas-alukum Ajron(w) Waĥum Muĥtadûn[a].

(20) Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas, ia berkata, “Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu!” (21) “Ikutilah orang-orang yang tiada meminta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Seorang laki-laki yang dimaksud adalah Habib al-Najjar. Menurut al-Sadiy, dia adalah orang yang berperawakan pendek. Sedangkan menurut Wahab, dia adalah orang yang bekerja membuat kain sutera, rumahnya terletak di paling ujung kota itu. Dia juga adalah orang yang gemar bersedekah. Setelah ia bekerja, di sore harinya dia membagi uang hasil pekerjaannya itu menjadi dua. Satu bagian ia pakai untuk memberi makan keluarganya, dan sebagain lagi ia sedekahkan kepada fakir miskin. Ketika dia mendengar bahwa orang-orang Anthokiyyah bermaksud membunuh para utusan, dia bergegas mendatangi mereka, dan mengatakan bahwa mereka harus mengikuti para utusan itu.

Menurut riwayat Qatadah disebutkan bahwa Habib al-Najjar ketika itu berada di gua sedang melaksanakan ibadah. Dan ketika berita itu sampai kepadanya, ia mendatangi mereka dan menyebutkan agama yang selama itu ia genggam, dan ia menyuruh untuk mengikuti para utusan itu.

Qatadah menyebutkan bahwa ketika Habib sampai pada para utusan itu, ia bertanya, “Apakah kalian meminta imbalan atas usaha penyebaran risalah yang kalian lakukan?”

“Tidak, kami hanya mengatakan ‘Ikutilah kami’!”, jawab mereka.

Mendengar itu Habib berkata, “Wahai kaumku, ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu, mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk, dan mereka mengajak kalian menuju petunjuk itu dan jalan yang lurus!”

Ketika kaum itu mendengar apa yang diucapkan Habib, mereka berkata, “Ternyata agama kamu berbeda dengan agama kami, kamu hanyalah pengikut para utusan itu.”

Mendengar itu, Habib berkata:

وَمَا لِيَ لَآ أَعْبُدُ الَّذِيْ فَطَرَنِيْ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ.

Wamâ Liya Lâ A’budulladzî Fathoronî Wa-ilayĥi Turja’ûn[a].

(22) “Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku, dan yang hanya kepada-Nya kamu (semua) akan dikembalikan?”

Maksudnya, tidak ada satu alasan pun yang menghalangi Habib untuk tidak menyembah dzat yang menciptakannya. Mereka semua (termasuk kaum Anthokiyyah) akan dikembalikan kepada-Nya, yaitu pada hari kebangkitan. Allah SWT pasti akan membalas semua yang dilakukan oleh mereka.

Ada yang berpendapat bahwa kata fathara/fithrah (menciptakan) ditujukan kepada Habib, sedangkan kata turja’uun/ruju’ (dikembalikan) ditujukan kepada orang-orang Anthokiyyah. Maksudnya adalah karena fithrah merupakan bentuk dari ni’mat yang telah ditunjukkan oleh Habib dengan ibadahnya, sedangkan ruju’ merupakan bentuk kemunkaran yang terdapat pada mereka.

Ada ahli tafsir yang menyebutkan bahwa ketika Habib berkata, “Ikutilah utusan-utusan ini!”, orang-orang Anthokiyyah menangkap dan menyerahkannya kepada sang raja. Sang raja pun bertanya, “Apakah benar kamu pengikut para utusan itu?”

“Mengapa aku tidak boleh menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya kamu (semua) akan dikembalikan?” jawab Habib. Lalu ia katakan:

ءَأَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِهٖۤ ءَالِهَةً إِنْ يُّرِدْنِ الرَّحْمٰنُ بِضُرٍّ لَّا تُغْنِ عَنِّيْ شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا وَّلَا يُنْقِذُوْنِ.

A-attakhidzu min(g) Dûniĥî Âliĥatan in(y)Yuridnir Rohmânu Bidhurrin(l) Lâ Tughni ‘Annî Syafâ’atuĥum Syay-an(w) Walâ Yun(g)qidzûn[i].

(23) Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya; jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemadlaratan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikit pun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?”

Ayat ini mengandung pengingkaran. Maksudnya, “Aku tidak akan menyembah tuhan-tuhan selain Allah SWT, karena tuhan-tuhan itu tidak mampu memberi sedikit pun pertolongan atau pun membebaskanku dari hal-hal yang ditakuti.”

Ketika orang-orang Anthokiyyah mendengar perkataan Habib seperti itu, mereka berkata, “Ketahuilah Habib, para utusan itu telah melarang agama leluhurmu, keluarlah kamu dari agama mereka! Jika tidak, kami akan membunuhmu dengan siksaan yang sangat pedih.”

Habib menjawab:

إِنِّيْۤ إِذًا لَّفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ.

Innî Idzal Lafî Dholâlin(m) Mubîn[in].

(24) “Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata.”

Maksudnya, “Jika aku kembali memeluk agama kalian setelah aku masuk Islam, pastilah aku ada dalam kesesatan yang nyata, karena sebenarnya agama kalian itu adalah agama yang bathil.”

Setelah berkata seperti itu, Habib menghadap para utusan dan berkata:

إِنِّيْۤ ءَامَنْتُ بِرَبِّكُمْ فَاسْمَعُوْنِ.

Innî Âman(g)tu Birobbikum Fasma’ûn[i].

(25) “Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu, maka dengarkanlah (pengakuan keimanan)ku!”

Ketika Habib berkata seperti itu, orang-orang Anthokiyyah menangkap dan melilitkan tali di lehernya lalu digantunglah ia di pintu gerbang kota. Al-Sadiy mengatakan bahwa mereka melemparinya dengan batu, namun dia hanya berdo’a, “Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku.”

Hal ini menunjukkan bahwa para wali Allah biasanya selalu ingin mengajak umatnya kepada kebaikan tanpa sedikit pun kemarahan kepada mereka. Orang yang memiliki sifat mudah marah dan bermusuhan bukan merupakan ciri orang yang sadar, bagaimana mungkin orang seperti itu menjadi wali Allah?

Mungkin para pembaca pernah mendengar bagaimana perlakuan kaum kafir Quraisy yang melempari Nabi Muhammad SAW dengan batu hingga gigi beliau menjadi pecah? Namun beliau terus mendoakan mereka seraya mengucap, “Allaahumma ihdi qaumii fainnahum laa ya’lamuun (Ya Allah, berilah kaumku petunjuk, karena sesungguhnya mereka belum mengetahui kebenaran).”

Al-Hasan mengatakan bahwa Habib dipermalukan di hadapan orang-orang di tengah keramaian pasar. Dia dimakamkan di Anthokiyyah. Allah membalas keteguhan imannya dengan berbagai kenikmatan surga.

قِيْلَ ادْخُلِ اْلجَنَّةَ قَالَ يٰلَيْتَ قَوْمِيْ يَعْلَمُوْنَ.

Qîladkhulil Jannata Qôla Yâ-layta Qouwmî Ya’lamûn[a].

(26) Dikatakan (kepadanya), “Masuklah ke surga!” Ia berkata, “Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui…

Disebutkan bahwa ketika Habib disiksa oleh kaum Anthokiyyah, Allah SWT memberinya kelebihan untuk menyaksikan dengan matanya sendiri akan kenikmatan surga. Ada yang mengatakan juga bahwa dia mendengar suatu panggilan, “Wahai pemilik jiwa yang tenang, masuklah kamu ke dalam surga dan jadilah orang yang selamat dari siksa Allah.”

Ketika Habib mendapatkan semua itu, dia berkata, “Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui…

بِمَا غَفَرَلِيْ رَبِّيْ وَجَعَلَنِيْ مِنَ اْلمُكْرَمِيْنَ.

Bimâ Ghofarolî Robbî Waja’alanî Minal Mukromîn[a].

(27) apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.”

Habib berharap supaya seluruh kaumnya mengetahui sebab Allah SWT memberinya ampunan dan memuliakannya. Dia berharap agar mereka bisa masuk Islam.

Ketika Habib dibunuh, Allah SWT sangat murka kepada kaum Anthokiyyah. Maka diturunkanlah siksaan bagi mereka dengan diutusnya malaikat Jibril untuk membinasakan mereka. Lalu malaikat Jibril mendatangi daerah itu atas perintah Allah SWT untuk menghancurkannya. Dia menghancurluluhkan seluruh penjuru kota, sehingga hanya dengan satu teriakan yang dahsyat saja mereka semua menemui ajalnya.

Bersambung …

Tinggalkan Balasan